Selasa, 07 Juni 2011

PERAN MILITER ERA MEGAWATI

Megawati Soekarno Putri adalah presiden perempuan pertama di Indonesia yang menjabat pada periode 2002 – 2004. Beliau juga merupakan putri dari Mantan Presiden Soekarno, presiden pertama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bila kita melihat pada pemerintahan beliau terdahulu, militer pada pemerintahannya kurang terlihat secara jelas. Hal ini mungkin dikarenakan Megawati bukan berasal dari background militer, melainkan sipil.
Perwakilan ABRI di MPR/DPR dihapus. Jabatan menteri, gubernur, dan bupati tidak ada lagi dari kalangan militer. Militer kembali ke barak, tidak lagi ikut mengelola negara. Militer hanya mengamankan negara terhadap invasi dari luar saja. Keamanan dalam negeri diserahkan kepada Polri yang tidak lagi bergabung dengan TNI yang dahulu dinamakan ABRI.
Peran militer yang hanya sebatas sebagai alat untuk pertahanan negara pada pemerintahan Megawati dilakukan agar dilema yang pernah terjadi pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, yaitu pemerintahan yang didominasi oleh militer sehingga terkesan otoriter, tidak terulang kembali, sehingga masyarakat Indonesia tidak merasa takut dalam berbagai hal, karena militer benar – benar hanya sebagai alat pertahanan negara saja. Hal yang serupa pun sudah dilakukan pada pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gusdur, yang mana beliau juga berlatarbelakang non militer atau sipil.
Megawati pada masa pemerintahannya tidak terlalu antusias untuk mendorong adanya reformasi militer. Hal ini dilakukan karena sejak kejatuhan Gus Dur ada anggapan di kalangan politisi sipil bahwa kalau tidak menjaga hubungan baik dengan militer, posisinya lebih gampang digoyang dan rapuh. Oleh karena itu pemerintahan Megawati lebih berhati-hati dalam membuat kebijakan yang menyangkut kepentingan militer khususnya penegasan peran militer.
Dalam dunia politik, sikap netral militer terhadap dunia politik ditunjukkan dengan cara TNI mengingstruksikan kepada anggota – anggotanya untuk bersikap netral dalam kancah politik, tidak berpihak dan mendukung salah satu parpol, tidak mengomentari jalannya perpolitikan di Indonesia. Demikian juga halnya pada saat menjelang pemilu 2004, Panglima TNI selalu mengingatkan untuk jaga jarak dengan semua partai politik dan selalu netral.
Untuk mewujudkan netralnya TNI dalam pemilu 2004 antara lain adalah dengan sosialisasi mengenai netralitas TNI selama kurang lebih enam bulan yang diserahkan kepada SKOMSOS (Staf Komunikasi dan Sosial). Namun semua itu tergantung dari masing – masing daerah. Ada daerah yang TNI benar – benar totalitas dalam menjalankan netralitas, dan tak menutup kemungkinan juga ada juga yang agak longgar dalam pelaksanaanya. Dengan kata lain kondisi dalam suatu wilayah juga mempengaruhi totalitas TNI dalam menjalankan netralitas.
Dalam hal pemantapan alutsista (alat utama sistem persenjataan), TNI, khususnya Angkatan Udara (AU)  dibekali dengan pembelian pesawat tempur Sukhoi jenis SU- 27 dan SU – 30, serta dua buah helikopter jenis MI – 35 yang mana semuanya dibeli dari Rusia. Kebijakan ini bertujuan agar TNI – AU dapat mempertahankan wilayah udara RI lebih efektif lagi mengingat sudah banyak pesawat – pesawat tempur Indonesia yang sudak tidak layak terbang dan banyak yang termakan usia.
Kebijakan ini pun akhirnya menuai pro dan kontra dimana yang pro beranggapan bahwa hal ini perlu dilakaukan mengingat alutsista yang sudah termakan usia seperti yang sudah disebutkan diatas, sedangkan pihak yang kontra menilai bahwa kebijakan ini dilakukan oleh Megawati tanpa mempublikasikannya, artinya perundingan antara Indonesia dan Rusia terkesan tertutup dan TNI – AU tidak mempunyai rencana untuk membeli pesawat sukhoi tersebut dinilai berkualitas buruk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar